Diakui atau tidak, krisis ekonomi yang sempat menghempaskan
kapal negeri ini di sebabkan oleh ketidak-jujuran para pemimpin bangsa selama
tiga dasawarsa. Sehingga Indonesia
menyandang Negara terkorup se-ASEAN. Rupanya kebiasaan lama ini akan
dilestarikan oleh para wakil kita di era reformasi. Hal ini nampak pada pemutar
balikan fakta. Mereka mengajarkan kebohongan. Dan menanggalkan jauh-jauh baju
kejujuran. Sebenarnya, apa sih jujur itu?.
Mungkin benar iklan di sebuah radio, kerjakan, apa yang harus anda kerjakan. Katakana, apa yang harus anda
katakana. Dengarkan, apa yang harus anda dengarkan. Baca, apa yang harus and
abaca!
Suatu hari
seseorang dating kepada Rasulullah. Dia matur kepada Rasul, “Wahai Muhammad,
aku ingin ikut ajaranmu. Cuma aku masih senang mabuk-mabukan, mencuri, berzina
dan berbohong. Orang-orang bilang, kamu melarang kesenanganku itu. Sungguh, aku
tak sanggup meninggalkannya. Apakah masih ada peluang untukku untuk bersamamu
?” Nabi menjawab “Jangan khawatir, Islam terbuka untuk siapa saja. Kalau masih
eman dengan kebiasaanmu itu, tidak apa-apalah. Tapi satu syarat yang harus kamu
penuhi”. “Apa itu, Muhammad ? “,Tanya laki-laki itu penasaran. “Jujurlah,
jangan suka berdusta !”.Dia terima persyaratan tersebut dan masuk Islam.
“Gampang sekali agama Muhammad. Syaratnya hanya jujur”,gumamnya dalam hati.
Gambaran di atas menggugah hati dan fikiran kita untuk bertanya.
Apakah hakekat sebuah kejujuran ? Apakah semua kejujuran dianjurkan dan
dibenarkan ? Apakah dusta itu selalu berkonotasi jelek ? Lalu, apakah pengaruh
kejujuran dalam kehisupan kita sehari-hari ?
Jujur dalam bahasa arab disebut dengan ‘as-shidqu’. Dan gambaran
as-shidqu, ditampilkan begitu rupa oleh para ulama. Jujur digambarkan sebagai
persesuaian kata hati dengan realitas. Adanya keseimbangan antara memori yang
masuk dalam jiwa dengan kenyataan yang terjadi. Dengan redaksi yang lain,
Al-Qusyairi maengatakan bahwa jujur minimal ada keseimbangan antara yang sirr
(rahasia/tersembunyi) dan alamiyah (kasat mata). Lebih lanjut Al-Junaid
berpendapat, hakekat jujur adalah berkata yang benar dalam kondisi yang gawat
yang memaksa dia untuk berdusta akan tetapi dia tetap konsis untuk berkata yang
benar. Itulah jujur. Oleh sebab itu, As-Shiddiq adalah seorang yang perkataan
dan perbuatannya benar dan sesuai dengan kenyataan. Lalu dia merefleksikan
kebenaran itu dengan perbuatan.
Oleh sebab itu, Al-Ghazali mengatakan bahwa as-shidqu (jujur)
digunakan pada enam pengertian. Pertama,
shidqu al-lisan (jujur dalam perkataan). Apa yang dikatakan sesuai dengan
kenyataan yang ada. Termasuk menepati janji. Dalam hal ini ada dua komponen.
Pertama, menghindar dari ma’aridl (hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas).
Karena jujur itu adalah apa yang dituju secara esensial, bukan bentuk luarnya.
Maka tidak bisa dikatakan jujut jika seseorang berkata tanpa dia paham apa yang
sesungguhnya. Kedua, menjaga makna jujur dalam perkataan yang digunakan untuk
munajat kepada Allah. Dalam artian, apa yang diucapkan sesuai dengan yang ada
dalam hatinya. Misalnya, dia bilang “saya hamba Allah”. Dia harus betul-betul
menghamba (tunduk) kepada Tuhan. Kalau tidak, berarti dia telah berdusta. Kedua, Shidqu Fi an-niat wal
al-iradah (jujur dalam niat). Yaitu apa yang diniati murni karena Allah swt.
Tidak ada motifator lain yang menyuruh dia diam dan bergerak kecuali Allah Swt.
Itulah yang dikenal dengan ikhlas. Ketiga,
Shidqu al-azmi (jujur dalam tekad). Yaitu dia bertekad dengan sungguh-sungguh
untuk melaksanakan keinginannya demi kebaikan. Misalnya, dia bertekad andaikata
dia menjadi presiden, maka dia akan melaksanakan pemerintahan yang bersih dan
adil. Tidak akan melakukan KKN. Keempat,
as-shidqu fi al-wafa’ bi al-azmi (jujur dalam melaksanakan tekad). Ini sebagai
konsekwensi dari shidqu al-azmi. Ketika cita itu sudah nyata dan dia mampu maka
dia harus mewujudkan apa yang menjadi tekad sejak awal. Kelima, as-shidqu fi al-a’mal (jujur dalam perbuatan).
Bersungguh-sungguh untuk menyeimbangkan antara apa yang ada dalam hati dengan
penampilan dhahir. Seperti, orang memakai baju takwa dia harus menyeimbangkan
keadaan hatinya untuk benar-benar takwa kepada Allah swt. Sesuai penampilan
dhahirnya. Keenam, as-shidqu
fi maqamati al-din (jujur dalam maqam-maqam agama). Misalnya, jujur dalam
zuhud, ridha, tawakkal, cinta dan sebagainya. Dalam artian, dia sungguh-sungguh
di dalam menjalani maqam tersebut. (Ihya’ Ulumi ad-din, IV, 409-413).
Ada satu pertanyaan yang terus mengganjal dihati. Apakah jujur
mesti baik dan dusta pasti jelek ?. untuk menjawabnya, ada sabda Nabi saw :
LA YASLUHUL KADZIBU ILLA FI TSALASIN KADZIBUR ROJULI
MAAMROAATIHI LITARDHO ANHU AW KADZIBU FIL HARBI FAINNAL HARBA KHUDATUN AW
KADZIBU FI ISLAHIN BAINANNAS
Artinya :
“Dusta tidak layak dilakukan, kecuali pada tiga hal. Seorang suami yang bohong
pada istrinya, supaya si istri rela pada suaminya. Berdusta dalam peperangan,
karena perang itu adalah tipu daya. Dan berbohong dalam rangka ishlah
(mendamaikan pertikaian) diantara manusia”. (Musnad Ahmad Ibnu Hanbal (27668),
X, 442). Hadist tersebut mengindikasikan bahwa tidak selamanya dusta itu
jelek. Tapi, ada beberapa hal yang membolehkan –meng-haruskan- untuk berdusta.
Seperti, ketika kita ditanya tentang ‘aurat’ (aib) saudara kita. Kita wajib
berdusta dengan memberi jawaban yang tidak semestinya. Demikian dalam rangka
mendamaikan keretakan yang terjadi di masyarakat kalau dusta tersebut merupakan
suatu jalan untuk mewujudkan kedamaian. Begitu pula halnya dengan jujur. Tidak
selamanya jujur itu baik. Bahkan ada beberapa hal yang tidak boleh di ‘ekspos’
secara jujur. Contohnya, adu domba, memberikan informasi yang tidak disenagi
oleh keluarganya dan sebagainya. Oleh sebab itu, dusta bisa boleh jika bisa
mengantarkan pada kedamaian. Juga, jujur menjadi haram ketika mendatangkan
malapetaka. (Ithafu as-Sadati al-Muttaqin, LXVII, 8-9). Menurut uraian panjang
diatas, betapa jujur menjadi inti dari pergaulan kehidupan sehari-hari. Karena
itu, sejak awal Nabi saw. Telah bersabda :
INNA SHIDQOYAHDI ILAL BIRRI WAINNAL BIRRO YAHDI ILAL JANNAH
WAINNAR ROJULA LA YASDUQO HATTA YAKUNA SHIDQAAN
Artinya : “Sesungguhnya
jujur mengantarkan kebaikan. Dan kebaikan akan membawa ke surga. Sesungguhnya
seorang laki-laki haruslah jujur sehingga dia menjadi seorang yang shiddiq”.
(Fathu al-Bari (6094), X, 507).
Minimal, ada empat hal yang bisa kita raih dari sebuah
kejujuran.
Pertama :
|
Kelapangan dan ketengan jiwa. Sebab, Nabi bersabda, “kejujuran
itu adalah ketenanga”. HR. At-Turmudzi.
|
Kedua :
|
Mendapatkan keberkahan dalam usaha (bisnis)
|
Ketiga :
|
Mendapatkan keuntungan –berupa pahala di akhirat- sebagaimana
yang diberikan kepada syuhada’ (yang mati di medan perang).
|
Keempat :
|
Akan terhindar dari hal-hal yang dibenci.
|
Minhaj al-Muslim, 154-155
|
Dari itulah, sangat wajar kalau Allah berfirman :
YAA AYYUHAL LADZINA AMANUT TAQULLAHA WAKUNU MAASHODIQIN
Artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah. Dan jadilah
kalian bersama orang-orang yang jujur”. (QS. At-Taubah [9], 119).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar